- 11.58.00 - 0 komentar
Nilai-nilai Nasionalisme dari Teks / Sajak Tradisional
Lir-ilir tandure wis sumilir “tanaman telah selesai ditanam” dapat bermakana “harapan itu ada” modal sudah ditangan, kemerdekaan sudah didapat, agama sebagai petunjuk telah hadir, pondok-pondok pesantren, sekolah-sekolah telah disiapkan lengkap dengan ahli-ahlinya, ladang-ladang luas telah terhampar, semua itu adalah karunia yang luar biasa dan sudah hadir disekitar kita.
“Tak ijio royo-royo tak sengguh penganten anyar,.. begitu dekat untuk meraih harapan itu, begitu indah harapan-harapan itu, menjanjikan kehidupan yang layak, kemedekaan yang diraih dengan penuh perjuangan, menumpahkan banyak darah, menghembuskan ratusan ribu bahkan jutaan nyawa melanyang kini sudah teraih, harapan akan masa depan yang lebih baik sudah didepan mata, harapan hidup damai penuh canda-tawa sangatlah nyata terlintas seperti tanaman yang ijo royo-royo ( hamparan luas tanaman yang terlihat hijau ) pencapaian kemendekaan itu adalah sebuah pencapaian yang mengharukan, menyenangkan laksana penganten anyar (penganten baru) diliputi penuh kebahagiaan.. Bocah angon, penekno blimbing kui, lunyu-lunyu penekno kanggo basuh dodot siro.
Bocah angon (anak pengembala) adalah sosok yang mempunyai tanggungjawab besar, dia mempunyai tanggungjawab hewan gembalaannya, dia bertanggungjawab agar hewan gembalanya tidak tersesat, dia bertanggungjawab akan kesejahteraan gembalaanya dia bertanggungjawab keselamatan hewan gembalaannya, Bocah angon adalah sosok pemimpin yang dengan sendirinya akan melekat sebuah tanggungjawab besar pada dirinya serta harus dilaksanakan. Pemimpin dengan tanggungjawab dipundaknya diharuskan mempunyai wawasan yang luas sehingga dapat membawa/mengarahkan pada jalan yang lebih baik, sejahtera, aman dari segala macam gangguan.
“Penekno blimbing kui” blimbing adalah bagian dari pencapaian atas harapan itu, blimbing adalah kesejahteraan rakyat, blimbing adalah petunjuk-petunjuk untuk kemandirian rakyat, blimbing juga dapat berarti hak rakyat untuk mendapatkan informasi, hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang layak, blimbing juga berarti keamanan, kenyamanan dan kesehatan untuk rakyat, Blimbing adalah simbol kesejahteraan rohani (keimanan, keilmuan) dan kesejahteraan jasmani (kehidupan yang layak). Tugas sang pengembala untuk mencarikan blimbing untuk hewan gembalaanya sehingga dalam lirik tertulis kata perintah “Penekno” (ambilkan/usahakan untuk dapat).
”Lunyu-lunyu penekno kanggo basuh dodotiro” Lunyu-lunyu penekno (meskipun licin ambilkan/usahakan untuk dapat), Sudah tugas dari Bocah angon untuk mendapatkan blimbing itu, sudah tugas pemimpin pula petunjuk-petunjuk untuk kemandirian rakyat, pemenuhan hak rakyat untuk mendapatkan informasi, pendidikan yang layak, keamanan, kenyamanan dan kesehatan. Dan bukan perkara mudah untuk melaksanakannya namun harus didapat, meskipun “lunyu” (penuh tantangan, penuh konflik kepentingan, penuh intrik dari kelompok-kelompok tertentu) harus tetap dilaksanakan dan bukan untuk dijanjikan akan kehadirannya. Karena untuk itulah pemimpin dihadirkan, karena untuk itulah kehadiran Bocah angon ditugaskan.
“Kanggo mbasuh dodotiro” (untuk membasuh pakaianmu) dodot adalah busana, busana yang telah lusuh dan kotor, dodot adalah pakaian, pakaian adalah jatidiri, pakaian adalah harga diri bangsa, pemimpin harus bisa memenuhi/mengambilkan Blimbing sebagai simbol kesejahteraan rohani (keimanan, keilmuan) dan kesejahteraan jasmani (kehidupan yang layak), demi mengangkat harkat dan martabat Bangsa.
“Dodotiro kumitir bedah ing pinggir, Dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore”. Bait ini mencoba memompa semangat nasionalisme ditengah terpaan konflik internal bangsa maupun konflik dengan antar negara yang mungkin menjatuhkan harkat martabat bangsa, tidak dapat dipungkiri banyak tragedi yang terjadi pada bangsa ini yang dengan sendirinya menjatuhkan citra bangsa dari pandangan negara-negara lain, sebagai contoh Tragedi MALARI, Tanjung Priok, DOM di wilayah aceh, kerusuhan 1998 dan masih banyak yang lainnya, belum lagi konflik antar negara seperti Hilangnya pulau sipadan dan ligitan, lepasnya timor leste dari pangkuan NKRI, dan baru-baru ini penangkapan petugas yang sedang bertugas mengamankan kedaulatan negara diwilayahnya sendiri namun ditangkap oleh negara lain, yang bikin ironi lagi adalah petugas tersebut dibebaskan (untuk tidak mengatakan ditukar) dengan imbalan pembebasan pencuri(maling) ikan. Bait ini berbunyi
“Dodotiro kumitir bedah ing pinggir” (Pakaianmu yang telah hanyut dan robek bagian tepinya) pakaian sebagai simbol harga diri bangsa yang telah terkikis dan hanyut oleh beberapa tragedi dan ulah oknum yang mengatasnamakan bangsa dan berdampak pada terkoyak/robeknya harga diri bangsa.
“Dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore” (Jahitlah, perbaikilah untuk ganti nanti sore), robeknya harga diri bangsa, terkikisnya nilai-nilai nasionalisme warga negara bukanlah halangan untuk mejaga, mempertahankan keutuhan NKRI. Mengutip sajak modern yang dilantunkan iwan fals “robeknya kain bendera dihalaman rumah kita bukan suatu alasan untuk kita tinggalkan” dalam bait dari sajak lir-ilir disebutkan kata “Dondomono” (jahitlah/rajutlah), nilai-nilai nasionalisme bangsa yang mulai luntur harus dirajut ulang, terkoyak/robeknya harga diri bangsa harus dibangun ulang dengan semangat kemerdekaan yang dibawa oleh para pejuang kemerdekaan negeri ini, dalam hal ini peran kepemimpinan yang memiliki jiwa kenegarawanan adalah kebutuhan bangsa, pemimpin yang menpunyai kemauan keras untuk kesejahteraan rakyat, pemimpin yang mempunyai arah kebijakan “sense of hope” kepada penguatan nilai-nilai nasionalisme kepada warga negaranya, meskipun tugas dari pembangunan bangsa ini tidak melulu dibebankan kepada pemimpin. namun, hal ini adalah kewajiban dari seorang pemimpin. Warga negara sebagai bagian dari komponen bangsa dapat mengisi kemerdekaan ini dengan prestasi-prestasi dari segala hal untuk menunjukkan kepada dunia akan keberadaan bangsa, bersaing dalam kebaikan dan prestasi terhadap negara-negara lain, berkibarnya bendera pada kegiatan internasional yang diiringi kumandang lagu kebangsaan adalah bagian yang bisa memupuk nilai-nilai nasionalisme bangsa demi hari esok yang lebih baik, demi harkat dan martabat bangsa dimasa yang akan datang, dalam sajak tertulis “kanggo sebo mengko sore”
“Mumpung padang rembulane mumpung jembar kalangane” mari optimis untuk meraih harapan-harapan para pahlawan bangsa ini, sekecil apapun harapan itu harus tetap direbut, harus tetap diperjuangkan “mumpung padang rembulane” mumpung bangsa ini masih ada keberadaanya, mumpung belum terlalu parah lunturnya nilai-nilai nasionalisme, mumpung ada kesempatan untuk menata ulang, memperbaiki (mereformasi) dan mengurai keruwetan persoalan bangsa. Dan menjadikan cita-cita leluhur bangsa (para pahlawan) bahwa kemerdekaan sejatinya adalah demi keberlangsungan / keberpihakan atas hajat hidup rakyat untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa. Keberpihakan akan arah kebijakan yang mengarah pada kepentingan rakyat, mengangkat harkat dan martabat rakyat akan berdampak pada tercapainya kehidupan yang layak, sejahtera, aman, tenteram dan munculnya nilai nasionalisme yang tinggi oleh setiap warga negara, hal inilah sebagian dari cita-cita dari para pejuang bangsa semoga akan segera terlaksana dan apabila hal ini telah terlaksana, maka warga negara akan bangga atas negara, warga negara akan bangga dan bersorak “Yok surak’o sorak iyo”,…. catatan: pernah dimuat di media